Halaman

Powered By Blogger

Senin, 23 September 2013

Andai saja….!!!



      Seorang santri yang sedang sakit (sebut saja namanya Abdul)  menatap tajam keluar jendela kamarnya, dia tidak bisa hadir di pesantren hari ini, perutnya mulas karena kebanyakan makan sambal kemarin sore di dapur pesantren.

      Tiba-tiba dia melihat dari kejauhan, seseorang berjalan kearah rumahnya, pria berkopiah hitam dan berbaju koko putih, menjinjing kantong keresek besar,  dia nampak bergegas, Abdul kenal betul dengan pria itu, dan yakin bahwa pria itu adalah ustadz Munir guru mengajinya di pesantren, ‘Hmmmm… pasti ustdaz mau marahin saya karena ga piket hari ini’ gumammnya dalam hati, dia *bersuudzon terhadap ustadznya, kemudian di berniat untuk menghindari pertemuan dengan ustadz itu.

      Sejenak dia pun berpikir, apa yang harus dilakukannya, tia-tiba…tink! Ide muncul di otaknya yang rada bolot, ‘ ahaaa ada ide! Aku mau pura-pura tidur saja’, dia pun segera *morongkol di atas kasurnya,ditutup sarung dekil yang sudah sebulan ga dicuci,Abdul tidur seperti trenggiling yang takut dicaplok lawannya

       Tok tok tok! Terdengar pintu diketuk seseorang, si Abdul pura-pura tak mendengar, “Assalamu’alikum, puntennnn!!!” ustadz Munir mengucapkan salam,

 si Abdul menahan nafas supaya tak terdengar keluar, dia semakin merapatkan sarungnya, menutupi seluruh kepalanya, 

“Assalamu’alaikum!!!” ustadz Munir mengulang salamnya, namun tetap tak ada jawaban, sejenak dia terpaku didepan pintu rumah santrinya, melongok ke dalam rumah lewat jendela namun tetap sepi…, diliriknya kantong besar yang dari tadi ditentengnya, dia pun membalikkan badan, dan kembali pulang ke Pesantren.

      Esok hari, di dapur Pesantren, si Abdul menatap tajam kearah teman-temannya yang tengah berpesta, banyak makanan terhidang, mereka duduk melingkar dan menikmati semua makanan itu, sekantung besar kacang tanah, roti berselai coklat dan keju dua tangkup, jeruk sekantung besar, dan beberapa botol minuman ringan,  kemudian tanpa segan dia pun bertanya pada teman-temannya,
Aya naon ieu teh, saha nu hajat euy?” ( Ada apa nih? Siapa yang pesta?),

 euh maneh mah sugan teh can cageur!, ieu oleh-oeh ti pak ustadz Munir, kamari ka imah maneh rek ngalongok, ngan euweuh sasaha, jadi weh oleh-olehna dibagikeun ka barudak!” (Euh kamu mah dikirain belum sembuh!, ini oleh-oleh dari ustadz Munir, kemarin ke rumah kamu mau menjenguk, tapi di rumahmu ga ada siapa-siapa, jadi oleh-olehnya dibagiin aja ke anak-anak!)

 “ Hahhhh???” si Abdul terhenyak, makanan sebanyak ini? Dasar sial! Andai saja…  dia kemarin husnudzon terhadap kedatangan pak Ustadz, mungkin makanan itu sudah dinikmatinya sendiri.

·         Suudzon : buruk sangka >< Husnudzon = baik sangka
·         Morongkol : posisi tidur tertekuk, seperti trenggiling

####

       Seorang pimpinan sebuah penerbitan menatap lekat-lekat wanita berpakaian lusuh yang duduk di hadapannya, wanita miskin itu hendak menawarkan naskah Novelnya, jangankan untuk menerbitkan naskahnya, melihat penampilan wanita inipun dia tak berminat, ingin secepatnya wanita ini berlalu dari hadapannya, pikirnya dari penampilan fisiknya saja dia sudah tidak meyakinkan, apalagi isi naskahnya.

       Menurutnya penampilan adalah modal utama dan mencerminkan apa yang ada di otak seseorang, lalu dengan tegas dan tanpa menyentuh sedikitpun terhadap naskah yang ditawarkannya itu, dia menolaknya dengan sinis. Kemudian wanita lusuh itu pun pergi dengan hati pedih.

      Beberapa waktu kemudian, sang pimpinan menyesali sikapnya terhadap wanita yang ditolak naskahnya tersebut, karena ternyata naskah wanita itu menjadi Novel best seller di seluruh dunia, kemudian dijadikan sebuah film yang masuk deretan Box Office, sang pimpinan hanya bisa merutuki kekeliruannya, andai saja… dia waktu itu menerima naskahnya dan tidak memperdulikan penampilan sang pemilik naskah, mungkin dia juga akan ikut kaya raya seperti wanita itu.

####

       “Ayahmu  kalau datang kesini pasti bikin repot! Minta dijemputlah, atau paling juga mau pinjam uang!”
seorang suami menumpahkan kekesalannya terhadap sang istri yang baru seminggu melahirkan bayinya yang kelima.

“Suruh ayahmu balik lagi ke kampungnya!” sambungnya,

sang istri hanya menangis sesenggukan, dia tidak terima ayahnya dituduh seperti itu oleh sang suami, padahal sang ayah belum juga sampai di rumah mereka, dia masih di jalan, dan menelepon supaya di jemput di depan jalan karena tidak tahu arah ke rumah mereka,

“Sekarang saya mau tanya, ayahmu pernah engga menginjakkan kakinya di rumah ini? menjenguk kita dan semua cucunya?” 

akhirnya sang istri angkat bicara juga, dia tak tahan dengan ucapan suaminya,  sang suami hanya terdiam, memang betul ucapan istrinya, ayahya tak pernah menjenguknya sekalipun, sejak mereka mnikah empat belas tahun yang lalu, hingga  sekarang  mereka mempunyai lima anak, telepon genggam kembali berdering dan ternyata sang ayah sudah sampai di depan jalan yang jaraknya beberaapa ratus meter dari rumahnya,  walau dengan terpaksa, akhirnya  sang suami mau  menjemput ayah mertuanya .

       Wajah sang istri nampak kuyu, ada bekas tangis di wajah dan terutama kelopak matanya, “Kenapa kamu nangis, Nduk?” Tanya sang ayah curiga

“ Saya hanya terharu dan bahagia ayah datang menjenguk si kecil” sang istri berbohong, dia tak tega untuk menceritakan hal yang sebenarnya kepada sang ayah tercinta, yang sudah lelah bepergian dari kampungnya hanya untuk menjenguk si kecil yang baru lahir seminggu.

       Sambil mmenggendong si kecil sang istri menyuguhkan nasi kuning yang dibuat khusus untuk kelahiran si kecil, melihat ayahnya makan dengan lahap, dia nampak bahagia, walaupun dia tak melihat sang suami, yang sengaja menghindari pertemuan dengan sang ayah,  dan sang istri udah mafhum.

       Ternyata sang suami ada di  kamarnya sedang tidur-tiduran di atas kasur, namun dia menguping pembicaraan sang istri dan mertuanya, “ Ini ada oleh-oleh dari kampung, Nduk!” sang ayah mengeluarkan beberapa bungkus kado dari dalam tasnya yang besar, engga tanggung-tanggung, ada sepuluh kado semuanya, anak-anak yang sedari tadi diam saja, berebutan membuka kado-kado cantik dari saudara-saudara ibunya tersebut, mereka sangat riang.

“Ini juga ada amplop dari saudara-saudara di kampung!” kemudian sang ayah mengeluarkan amplop dari daam kantung keresek kecil yang ditaruh di dalam tas paling dalam, amplop pun ada sepuuh lembar, penasaran sang istri membuka isi ampop itu di depan ayahnya, matanya terbelalak karena isinya sangat banyak, setiap amplop isinya minimal seratus ribu rupiah, total semuanya satu juta empat ratus ribu rupiah, sang istri sangat senang dan bahagia, keluarganya di kampung memang sangat menyayanginya, walaupun mereka tak bisa hadir berasama ayahnya, dia menangis terharu

“Ini khusus dari Mbah!, minggu lalu mbah panen, ada sedikit uang untuk berobat suamimu, katanya dia sakit lagi, ya.. tho…?” sang ayah menyodorkan amplop yang lebih besar, isinya tebal, sang istri ragu untuk membukanya segera,

“Bukalah, mudah-mudahan cukup untuk berobat suamimu!” sang ayah seperti mengerti dengan sikap anaknya, dibukanya segera amplop tebal itu, dan matanya tambah terbelalak, 

“Masha Allah!!! Mbah! Banyak banget! Emang mbah engga butuh?” sang istri sedikit menjerit melihat isi ampolp yang berjumlah lima juta rupiah itu, sang ayah hanya terkekeh,

“*Wis ora opo-opo, mbah ndak butuh, di bank masih ada, kasian suamimu sakit-sakitan, mudah-mudahan cepet sembuh, Nduk!”

      Di dalam kamar sang suami terperangah mendengar pembicaraan sang istri dan ayahnya, betapa tidak, orang yang dia inginkan untuk tidak hadir di rumahnya, ternyata memiliki hati mulia, andai saja… sang istri menuruti perintahnya untuk mengusir  sang ayah, mungkin uang yang dia butuhkan untuk berobat  itu tak kan pernah ada.

####

      Ini kisah Seorang gadis cantik dan tinggi semampai, kulit putih brsih, sudah barang tentu banyak pria yang menginginkannya untuk dijadikan istri, entah itu saudaranya, tetangganya, teman-temannya, dan sebagainya. Namun sudah lebih dari kepala tiga dia belum juga menikah, apa masalahnya? Padahal secara pendidikan ia dia juga sarjana, mungkin sebagian orang tidak tahu apa yang ada dalam benaknya ketika seorang laki-laki melamarnya,

“Ah paling juga dia mau sama aku karena aku sarjana kan?” tuduhny ketika seorang sepupu menawarkan pria sholih yang ingin melamarnya, namun pendidikannya lebih rendah dari dia,

Di lain waktu, “Engga ah, dari wajahnya saja aku dah ngga berminat, emangnya engga ada laki-laki yang lebih ganteng yang pantas untukku?” tolaknya setelah melihat sebuah fhoto laki-laki yang dibawa seorang temannya

Pada suatu hari, “Apa? Dia mau datang lagi kesisni? Mau apa? Aku kan sudah menolaknya berkali-kali kok dia nekat sihhh!!!, apa dia engga tau kalau aku engga suka sama dia? Dia engga tau apa kalau aku pernah sakit hati sama adiknya?, dia engga mikir kalau ibunya pernah menyakiti ibuku?” cerocosnya setelah mendengar kabar dari saudaranya bahwa seorang laki-laki yang pernah melamarnya akan datang lagi untuk mencoba melamarnya, secara ekonomi dan status sosial laki-laki ini lebih tinggi darinya.

Akhir tahun lalu, “ Saya engga suka laki-laki yang aktif di organisasi, nanti saya dicuekin lagi!, karena dia sibuk sama organisasinya!” begitulah jawabannya saat seorang saudara menawarkan seorang aktifis organisasi Islam, padahal dia juga sarjana dan kaya raya. Dan seterusnya, setiap laki-laki yang datang selalu ditolaknya mentah-mentah, tanpa mengenlanya terlebih dahulu. Namun di lubuk hatinya terdalam dia menginginkan untuk segera menikah, dia rajin berdo’a dan berharap dengan khusyuk di setiap sholatnya.  

Andai saja… dia berpikir sebaliknya, minimal terhadap salah seorang diantara laki-laki yang entah sudah orang datang melamar, mungkin dia sudah berkeluarga, bahagia dan mempunyai anak.  
                                ####

Jumat, 07 Juni 2013

Cerpen Remaja

Emak Gue Galau
Oleh : Aisha Khairunnisa

            “Mak!” panggilku seraya mengetuk pintu, dan seperti biasa Emak hanya mendehem, tak ada jawaban, meski telah kuketuk pintu kamarnya entah untuk yang keberapa kali. Namun tak tega hati ini untuk membuka paksa pintu walau tak terkunci, engga sopan! Aku kemudian membalikkan badan, dan wajahku pun kembali sengak.

            Ada apa dengan Emak? Mengapa Emakku berubah seratus delapan puluh derajat?, Emak yang dulu periang kini pendiam, bahkan super pendiam, Emakku yang dulu penyayang, kini pemarah minta ampun, engga boleh salah dikit, aku dan si Abang pasti akan kena damprat, seperti kejadian sore kemarin, Abang tak sengaja menupahkan sayur lodeh diatas meja makan,, karena kecerobohannya waktu menyinduk sayur itu, dia nampak terburu-buru, mungkin karena rasa lapar yang sangat karena dari pagi belum sarapan atau karena sudah ditungu teman-temannya untuk main basket,

            “Haaahhhhhh!!!!”

            Emak berteriak seraya melotot. Kemudian mengungkapkan kata-kata lain yang lebih kotor, tatapan indah dan sayu milik Emak kini sudah tak ada lagi. Abang dan aku terdiam, belum pernah kata-kata kasar nan kotor itu meluncur dari mulut Emak, Emak benar-benar telah berubah, akupun berbisik dalam hati,

            ‘kalau anaknya anak oon, lhaaa emaknya apa donk..??!!’ husssss, ngawurr!!

            “Maaf Mak, aku engga sengaja!” Abang membela diri, kemudian tubuh tinggi besar nya menghilang di balik pintu kamar, aku terharu melihatnya,

            “Pake otakmu! Pake matamu!’ teriak Emak lagi, aku hanya menunduk, rasa sedih dan khawatir menyergap batinku, aku engga bisa berbuat apap-apa, keheninganpun selalu menghantui kami setiap malam, kami sibuk dan tenggelam dengan ‘tugas’ masing-masing, Abang asyik ngegame online di kamarnya, aku menulis di lappiku, dan Emak? Entah apa yang sedang dikerjakannya, aku dan Abang tidak pernah tahu, dan seharian Emak selalu mengurung diri di kamarnya.

            Tak ada lagi baca Qur’an bareng seperti dulu ketika Babeh masih hidup, atau makan malam sambil nonton bersama, mengomentari sinetron atau berita di Televisi, atau menonton film tervaru lewat DVD player, semua sudah berlalu.

***

            Kududuk sendiri di teras sekolah pagi ini, hatiku kusut, walau sebenarnya udara sangat hangat, angin semilir sepoi-sepoi, dan awan putih berarak beriringan seakan-akan melambaikan tangan seraya mengucapkan ‘Selamat Pagi’, namun aku tak merasakan hangat dan indahnya pagi ini, hatiku kusut dan pikiranku kacau balau, ada sesuatu yang membuat aku merasa sengak sehingga tak ada secuilpun senyum tersungging dari bibirku,

            “Hoiiii,pagi-pagi dah melamun,Cing!” seseorang menepuk pundakku dari belakang, kutahu dari suaranya yang berat, itu pasti Ichal yang punya nama asli Faisal, beberapa saat kemudian Ichal sudah ada disampingku dan menggamit tanganku yang dingin, biasa dehhh cowok rese berkacamata ini selalu sok akrab, fuihhh!!

            “Eiitttt!! Sembarangan pegang-pegang!’ kulepaskan pegangannya dengan paksa, aku jengah, walaupun dia sangat baik dan perhatian terhadapku, melebihi perhatian Hilman abang sematang wayangku di rumah, Ichal terkekeh, yoiiiilaaah! Ada maunya sih!

            “Kenape looo! Pagi-pagi dah punya tampang sengak? kayak pembokat yang belum gajian setaon!!!” celotehnya, aku tambah manyun, boro-boro mau jawab pertanyaan si rese ini, yang ada malah tambah mumet nih kepala!

            “Naz! Kamu kenapa sih?” Ichal masih juga penasaran “Kamu yang biasa cerah ceria seperti sinar mentari pagi kok tiba-tiba jadi mendung begini seccchhhhh???”
Aku hanya tersenyum kecut, Ichal menatapku sabar, dia masih menungguku menjawab pertanyaannya,

            “Hmmmmm” gumamku
            “Aku aja engga tau apalagi kamu” jawabku sekenanya
            “Hahaha kamu ini dasar doodollllll!!!” pekiknya
            “Enga mungkin lah yaw!!, kamu engga tau penyebab yang buat wajahmu kusut kayak baju belum pernah dicium setrikaan?”
            “Hi hi hi…” akhirnya aku terkikik juga mendengar kata-katanya yang konyol itu
            “Naaaahh gitu donk tertawa!! “
            “Aku benci sama Emak!” lanjutku,
            “Wow what happen? Sejak kapan kamu benci emakmu yang jelita itu?”
            “Eaaallaaahhhhh…!!! pake nyanjung emak gue segala, dasar kamprettt!!!”
            “Yoi lah..! Emaknya jelita, wong anaknya juga cuantikk tenan!!!” pujinya dan hampir saja jemarinya menjawil pipiku,
            “Doddooolllllll!!!!!!!” aku mencubitnya keras-keras, dan sumpehhh!! si Ichal kesakitan banget karena kuku panjangku hampir saja merobek kulit lenganya yang putih dan berbulu itu.

            Tengah malam, kami ngerumpi di Facebook, Ichal rupanya masih penasaran dengan ucapanku tadi pagi di Sekolah
Faisal  : Naz, Emakmu kenapa?
Nazwa : Ga tau tuch! Emang nape?
Faisal  : Kamu kok aneh?, Emak sendiri dibenci, ga butuh dia nape?
Nazwa : Huhhh sok tau lo, mau tau aje, rese!
Faisal  : plissss ceriatin donk! Kalo ade ape-ape kasih tau aku ya, tell me darling!
Nazwa : beuhhh ogah banget  ngomong sama kamu! Entar sekmpung pada tau cerita gue, sorry guy!

Tanpa basa basi aku langsung offline, males ngomong sama ‘ember’!

            Emak Oh Emak! Kenapa sih Emak jadi berubah gitu? Plisss deh ihh! Aku bener bener ga ngerti dengan sikap Emak sekarang, dia lebih banyak nyungsep di kamarnya daripada ngobrol sama gadis cantik anak kandungnya ini hik! L L

            Tiap hari, engga siang atau malam Emak ngumpet di pojokan kamarnya, kayak hamster aja, memang sejak Babeh meninggal setahun lalu keceriaan wajah Emak semakin surut, Emak jadi sering marah-marah engga karuan, engga ada hujan ataupun angin Emak marah, siapapun bisa kena marahnya walau aku atau  Abang engga melakukan kesalahan apapun, kami jadi saling tuding atas penyebab kemarahan Emak tiap hari, duniaku semain sempit ditambah lagi Abang mulai engga betah tinggal di rumah, alasannya selalu ada saja, entah lomba basket lah, entah kerja kelompok lah, atau nginep di rumah  wak Jumali kakaknya Babeh yang anaknya perempuan semua, mungkin sekalian ngecengin temen-temen anaknya wak Jumali kaliii hehehe. :D :P

***

            Suatu hari di depan pasar,
            “Naz mustinya lo kudu faham kebutuhan emak lo!” Tante Mira sobat Emak menasihatiku setelah kami ngobrol panjang lebar perihal Emak yang berubah drastis, aku biasa curhat ke tante yang baik hati ini,
            “Emang Emak butuh apa?” aku bener engga tau apa maunya Emak soalnya Emak ga pernah ngobrol
            “Emang lo engga merasa kehilangan sosok Babeh?” mata tante Mira menatapku tajam
            “Ya sih,Te!, aku juga butuh seseorang yang bisa membuat rumah ini kembali hidup seperti ketika ada Babeh”
            “Nah… entu lo ngerti, maksud Tante juga gitu, Emak lo juga butuh seseorang untuk curhat’’ aku mengangguk, beban di dada ini mulai berkurang.

            Di lain hari,
            “Naz! Sini deh gua ceritain!” Amanda menarik tanganku ke pojokan kelas,
            “Ada apaan sih, Man?” aku penasaran,
            “Lo tau kagak? Emak lo suka main ke rumahnya om Eddy!” tanyanya kemudian, aku menggeleng,
            “Aku sering lihat emak lo disana! Ampir saban hari lhoo!” tambahnya, aku terkesiap, mau ngapain emak ke rumanhya om Eddy? Pemilik kursus bahasa Inggris di ujung jalan, yang memang deket rumahnya Amanda, aku yakin Amanda engga bohong, dia sahabat baikku,
            “Gue sempat ngobrol pas berpapasan sama emak lo!”
            “Trus?”
            “Ya dia Cuma ngomong aja ada perlu sama om Eddy!’
            “Ohhh!!” aku pura-pura ngerti, padahal pikiranku kusut  penuh tanda Tanya

            Di lain waktu,
 aku temukan handphone Emak berdering, dan Emak sedang di kamar mandi, tanpa ijin aku angkat  handphonenya,
            “Hello” seeorang menyapa, nada bicara orang asing
            “Hello!” jawabku
            “May I speak with mrs.Hamdanah?” pintanya
            “Emmm sorry she is in bath room” jawabku
            “Who are you?” tanyanya, kubayangkan dia menghernyitkan dahinya, dari nada suaranya dia nampak heran
            “I am her daughter” jawabku
            “Ohh oke, tell her I am calling!” lanjutnya, kemudian koneksi terputus tanpa sempat kutahu namanya, namun di layar handphone Emak hanya tertulis ‘Kuwait Man’, aku tambah penasaran, ada apa dengan Emak? Emak emang jago bahasa Inggris, tapi emak  engga pernah berhubungan dengan orang asing.
            “Tadi ada yang nelpon ya?” ternyata emak sudah ada di belakangku
            “Ya” jawabku dingin
            “Siapa?” Emak menatapku tajam, seolah mau menerkamu karena sudah berani menjawab panggilan masuknya, aku hanya menggeleng kemudian meninggalkan Emak sendiri, dan sejak saat itu hubungan kami semakin renggang.

***

            “Nazwaaaaaaaa!!!”” seseorang memanggilku dari jauh, beuh! Si Ichal lagi! Tapi kuhentiakn langkahnku demi menjaga perasaannya, tapi bukan berarti aku menyuakinya lebih dari seorang teman seperti yang diinginkannya,
            “Naz! Mo kemana lo?” suaranya tersendat, karena permen karet di mulutnya,
            “Kantin, emang nape?”
            “Gue boleh ikut ga?”
            “Mau nraktir ya!” godaku, padahal ngarep banget hehehe, soalnya jarang-jarang aku nginjakin kaki di kantin  setelah Babeh meninggal, yaaa darimana Emak dapat duit? Emak engga punya pekerjaan sama sekali!
            “Ok ok ok, gue ngerti kok! Tapi lo juga mesti ngerti gue dan perasaan gue terhadap lo! Deal?” Ichal mengajakku bersalaman tanda setuju, sudah pasti aku menolaknya, ‘Emangnya gue cewek apaan? Sebegitu mudahnya enrima cinta cowok yang gue engga suka hanya demi sepotong bakwan?’ Batinku bergenuruh, aku pun membalikkan badan dan kembali ke kelas.
            “Naz!, Nazwa!” Ichal berteriak memanggilku, aku engga peduli, semua orang yang ada di tempat itu menatap kami, puihhh hari yang menyebalkan!!! L L Air mata bergulir dengan cepat, aku terisak karena akupun terbayang wajah Babeh yang begitu menyayangiku, masih ingat pesannya agar aku menjaga diri dari gangguan laki-laki, Babeh ingin aku jadi perempuan baik-baik dan mandiri, yang tak mudah dirayu laki-laki gomballer, atau dengan mudah mnerima cinta laki-laki hanya karena aku butuh uang, tidakkkkkkkkkkkk!!!!!! Aku benar-bebar sedih, L L

            “Babehhhhhh!!!!” batinku menjerit memanngil namanya, engga kebayang kalau Babeh masih hidup, entah udah diaapain tuh anak yang melecehkanku hanya karena dia punya duit, memang Babeh tak sekaya kakaknya, wak Jumali, atau sehebat ayahnya Ichal yang Dokter terkenal di kota ini, Babeh hanya seorang teknisi di sebuah bengkel mesin, tapi dia tipe ayah yang sangat perhatian sama keluarga, apapun kebutuhan kami selalu di nomor satukan, sampai dia sendiri lupa akan kesehatan, sehinga kanker paru-paru menyerangnya sampai akhir hayat, Babeh tak memberikan ijin sama Emak buat membantu Babeh cari duit, walaupn Emak punya banyak potensi untuk itu, Emak lulusan D2 sebuah PTN jurusan bahasa Inggris, Emak pun bisa menjahit pakaian, namun Babeh benar-enar memanjakan Emak, Emak tidak boleh capek, karena menurut Babeh Emak sudah cukup lelah dengan urusan domestic, Emak sudah repot dengan urusan keluarga, makanya Babeh engga setuju kalau Emak bekerja di luar rumah, tapi kini?

***

            “Naz, mana si Abang?’ Tanya Emak, dia nampak lelah, dahinya berkeringat, wajahnya kusut,
            “Abang belum pulang” jawabku pelan kemudian aku menunduk menghindari tatapan mata emak, entah kenapa aku jadi takut menatap mata Emak sekarang, seolah mata itu sudah berubah menjadi mata ‘setan’,
            “Sudah di SMS?” pinta Emak tak langsung, aku buru-buru membuka Handphone dan menulis SMS,
            “Kamu sudah makan siang, Naz?” lanjut Emak, aku hanya menggeleng sebagai jawabannya, segan rasanya mengeluarkan suara untuk situasi seperti sekarang,
            “Makan dulu gih! Emak beli nasi Padang tuh!” suara Emak menurun, ada nada bahagia disana, namun hati ini mengelitik, sebuah pertanyaa iseng meluncur dari mulutku
            “Dari mana Emak dapat duit?”
            “Jangan banyak ngomong, cepat makan! Entar Emak jelasin kalo si Abang dah balik!”
Tanpa basa basi, kusambar sebungkus nasi Padang itu, karena perutku sudah tak bisa diajak kompromi!
            “Naz! Kamu butuh berapa duit buat bayar LKS dan yang lainnya?” Emak duduk di sampingku, sementara aku asyik dengan makan siang,
            “Entar aku hitung dulu!” ada rasa bahagia menghinggapi hatiku kini, Emak sudah mulai jinak! * emangnya singa? Sorry,Mak!
            “Kamu punya utang saman temen?” lanjut emak, pertanyaannya membuatku miris, yaaa aku banyak utang sama Manda karena aku sering kelaparan kalo pas istirahat, daripada makan gratis sama Ichal the Rese Boy, leih baik aku ngutang sama Manda!
            “Yaa…” jawabku takut-takut, Emak hanya mendesah! Akupun harus siap dengan omelannya, walaupun Manda juga tak memaksaku untuk segera bayar utang,
            “Assalamualaikum!” Abang pulang dengan pakaian banjir keringat, rupanya dia ngebut menggenjot sepedanya karena tersulut isi SMS ku,

            ‘Bang! Kalo lo mau selamat dari terkaman singa betina, cepat pulang!’

Hihihi, maafin aku Mak! Soalnya kami takut banget sama Emak akhir-akhir ini, dan kami pun pernah menjuluki Emak dan Babeh sebagai ‘sepasang singa’ ketika kami masih SD dulu, waktu itu kami melihat Emak dan Babeh bertengkar hebat gara-gara Emak pengen kerja di pabrik garment, maafkan kami, Beh!
            “Lo berdua denger ya baik-baik!” Emak membuka pembicaraan setelah kami selesai makan siang
            “Lo berdua pasti curiga kalo Emak punya banyak duit” kami mengangguk hampir berbarengan,
        “Emak juga bingung harus ngomong apa!, lo berdua tau kan Emak ga punya kerjaan?, harta peninggalan Babeh hanya cukup untuk hidup kita setaon!, sedangkan kita musti terus makan, kan?” Emak menarik nafas dalam, kami hanya terpaku melihatnya dan masih menunggu kelanjutannya,

            “Emak engga tega minta tolong kalian buat bantuin Emak cari duit, walaupun kalian dah besar, akhirnya Emak banting tulang, emak pontang panting cari kerja, tapi Emak engga mau keluar rumah, akhirnya Emak minta bantuan om Eddy, dia pun nolongin Emak dan bantuin Emak cari duit lewat Internet, kebetulan Emak masih inget sama bahasa Ingris, Emak diminta buat buka kursus bahasa Inggris online buat anak-anak, Alhamdulillah banyak peminatnya, disamping itu Emak pun bisnis online sama orang Kuwait, dia baik banget,Emak engga perlu ngeluarin modal, Emak hanya jadi sales dan dibayar pake dollar, hasilnya lumayanlah! Cukup buat makan sehari-hari sama biaya sekolah lo berdua!”

            Emak menyeruput es teh manisnya,

            “Kalian ngerti sekarang? Kenapa Emak  gumpet terus di kamar!, Emak yakin kalian gelisah lihat Emak, tapi Emak ga peduli, yang ada dalam otak Emak sekarang adalah duuiiittt titik!, yang penting halal! Ngerti kagak lo?” kami mengangguk berbarengan, rasa haru menyelimuti hati, Emak ternyata pejuang tangguh! Demi kami dia rela mengurangi waktu istirahatnya, demi kami dia rela diomongin orang gara-gara jarang gaul, aku malu seharusnya dah segede ini bisa bantu Emak cari duit, tapi Emak engga pernah minta,

            “Nih buku tabungan lo berdua, kalo perlu lo boleh ambil lewat ATM! Tapi inget lo kudu hemat, ambil seperlunya aja!” Emak melemparkan dua buah buku tabungan, dua-duanya atas nama Emak QQ nama aku dan Abang, kami terhenyak melihat jumlahnya, fantastis! Dalam waktu kurang dari setahun, ternyata Emak sudah bisa cari duit sebanyak ini, air mata haru meluncur di pipiku, aku terisak, Abang memeluk Emak erat,

            “Maafin aku ,Mak!!” Emak tenggelam dalam pelukan Abang yang tinggi besar, Abang menangis, tubuhnya terguncang, dia memang mudah tersentuh perasaannya, aku hanya diam terpaku
            “Harusnya aku yang gantiin Babeh cari duit, bukan Emak!” suara Abang berat dan serak, Emak pun menangis, mengelus rambut Abang dan mencium pipinya, kemudian keningnya.
            Dalam lubuk hati terdalam, aku menyesal pernah mencurigai Emak yang bukan-bukan, karena aku pernah memergoki Emak chatting on skype dengan seorang pria Arab seusianya, aku takut Emak jadi istri simpanan si Arab, seperti kebanyakan emak-emak di kampung ini, rupanya dia kolega bisnis Emak, bukan pacar yang selama ini aku duga, waktu itu aku mengintip Emak lewat lubang angin di atas pintu kamar Emak.

            Maafin aku, Mak!


           

                                                                                     Cianjur, 25 Mei 2013

Lomba Flash Fiction bersama Pak Dhe Cholik

Surat Lamaran
            “Neng, tolong belikan perhiasan emas seratus gram, alat-alat Sholat yang lengkap, Al-Qur’an satu buah, dibungkus yang rapi ya!” pinta Kapten Bhirawa dari Surabaya kemarin sore, dia nampak terburu-buru, itipun lewat telepon, karena Kapten Bhirawa sedang tugas di sana, aku hanya mengiyakan, “Ukuran cincinny gimana, Mas?” tanyaku, dia hanya menjawab terserah, ukuran jariku mungkin cukup katanya, akupun memenuhi permintaannya segera setelah dia mentransfer sejumlah uang ke rekeningku.

            Kapten  Bhirawa dan aku adalah sama-sama anak angkat keluarga hajjah Nunung pensiunan guru SD di Bandung, suaminya seorang perwira Angkatan Darat yang meninggal keika tugas di Timor timur, kami diasuh sejak kami masih bayi, bedanya aku asli urang Bandung, namun Kapten Bhirawa orang Surabaya, kami sama-sama diangkat anak ketika ayah angkat kami bertugas di kota kelahiran kami, kamipun sama-sama yatim piatu sejak bayi, usia kami berbeda dua tahun, walau demikian kami dididik dengan penuh cinta dan kasih sayang oleh kedua orangtua angkat kami, mereka menyayangi kami sepenuh hati, dan kami pun saling menyayangi seperti adik dan kakak kandung.

            Sambil membungkus pesanan Kapten Bhirawa aku berbincang dengan ibu yang sudah sangat sepuh, namun beliau masih nampak sehat dan awet muda, giginya masih lengkap, hanya rambutnya saja yang memutih,
“Neng sudah beres bungkus kadonya?” tanya ibu, aku mengangguk,
“Siapa sih calon istriny Mas Bhirawa,Bu? Kok aku engga dikenalin?” tanyaku penasaran, soalnya Mas Bhirawa belum pernah memperkenalkan calonnya kepada kami, ibu hanya tersenyum, dia nampak menyembunyikan sesuatu, namun aku tak berani memaksa ibu untk mengungkapkan siapa calon istri mas Bhirawa, karena kutahu pasti Mas Bhirawa minta restu ibu dahulu jika mau menikah.

            Di pagi hari yang cerah, ketika aku menyapu halaman yang penuh dengan daun-daun kering karena musim kemarau, seorang pengantar surat datang menghampiri,

“Ada surat dari Surabaya” katanya sopan, seraya memberikan sepucuk surat padaku, ternyata untukku, namun tidak ada nama pengirimnya, segera aku robek sampulnya setelah pengantar surat itu pergi, isinya membuat lututku bergetar, ‘Neng, maukah kamu menjdi istri Mas?’ singkat dan padat namun mencengangkan, karena yang mengirim surat cinta itu adalah Mas Bhirawa.

NB: Falsh Fiction ini dikut sertakan di lombannya Pak DheGuslik Galaxi