Seorang santri yang sedang sakit (sebut
saja namanya Abdul) menatap tajam keluar
jendela kamarnya, dia tidak bisa hadir di pesantren hari ini, perutnya mulas
karena kebanyakan makan sambal kemarin sore di dapur pesantren.
Tiba-tiba dia melihat dari kejauhan,
seseorang berjalan kearah rumahnya, pria berkopiah hitam dan berbaju koko
putih, menjinjing kantong keresek besar,
dia nampak bergegas, Abdul kenal betul dengan pria itu, dan yakin bahwa
pria itu adalah ustadz Munir guru mengajinya di pesantren, ‘Hmmmm… pasti ustdaz
mau marahin saya karena ga piket hari ini’ gumammnya dalam hati, dia *bersuudzon terhadap ustadznya, kemudian
di berniat untuk menghindari pertemuan dengan ustadz itu.
Sejenak dia pun berpikir, apa yang harus
dilakukannya, tia-tiba…tink! Ide muncul di otaknya yang rada bolot, ‘ ahaaa ada
ide! Aku mau pura-pura tidur saja’, dia pun segera *morongkol di atas kasurnya,ditutup sarung dekil yang sudah sebulan
ga dicuci,Abdul tidur seperti trenggiling yang takut dicaplok lawannya
Tok tok tok! Terdengar pintu diketuk
seseorang, si Abdul pura-pura tak mendengar, “Assalamu’alikum, puntennnn!!!”
ustadz Munir mengucapkan salam,
si Abdul menahan nafas supaya tak terdengar keluar,
dia semakin merapatkan sarungnya, menutupi seluruh kepalanya,
“Assalamu’alaikum!!!”
ustadz Munir mengulang salamnya, namun tetap tak ada jawaban, sejenak dia
terpaku didepan pintu rumah santrinya, melongok ke dalam rumah lewat jendela
namun tetap sepi…, diliriknya kantong besar yang dari tadi ditentengnya, dia
pun membalikkan badan, dan kembali pulang ke Pesantren.
Esok hari, di dapur Pesantren, si Abdul
menatap tajam kearah teman-temannya yang tengah berpesta, banyak makanan
terhidang, mereka duduk melingkar dan menikmati semua makanan itu, sekantung
besar kacang tanah, roti berselai coklat dan keju dua tangkup, jeruk sekantung
besar, dan beberapa botol minuman ringan, kemudian tanpa segan dia pun bertanya pada
teman-temannya,
“
Aya naon ieu teh, saha nu hajat euy?”
( Ada apa nih? Siapa yang pesta?),
“ euh
maneh mah sugan teh can cageur!, ieu oleh-oeh ti pak ustadz Munir, kamari ka
imah maneh rek ngalongok, ngan euweuh sasaha, jadi weh oleh-olehna dibagikeun
ka barudak!” (Euh kamu mah dikirain belum sembuh!, ini oleh-oleh dari
ustadz Munir, kemarin ke rumah kamu mau menjenguk, tapi di rumahmu ga ada
siapa-siapa, jadi oleh-olehnya dibagiin aja ke anak-anak!)
“ Hahhhh???” si Abdul
terhenyak, makanan sebanyak ini? Dasar sial! Andai saja… dia kemarin husnudzon terhadap kedatangan pak Ustadz,
mungkin makanan itu sudah dinikmatinya sendiri.
·
Suudzon : buruk sangka ><
Husnudzon = baik sangka
·
Morongkol : posisi tidur tertekuk,
seperti trenggiling
####
Seorang pimpinan sebuah penerbitan menatap
lekat-lekat wanita berpakaian lusuh yang duduk di hadapannya, wanita miskin itu
hendak menawarkan naskah Novelnya, jangankan untuk menerbitkan naskahnya,
melihat penampilan wanita inipun dia tak berminat, ingin secepatnya wanita ini
berlalu dari hadapannya, pikirnya dari penampilan fisiknya saja dia sudah tidak
meyakinkan, apalagi isi naskahnya.
Menurutnya penampilan adalah modal utama
dan mencerminkan apa yang ada di otak seseorang, lalu dengan tegas dan tanpa menyentuh
sedikitpun terhadap naskah yang ditawarkannya itu, dia menolaknya dengan sinis.
Kemudian wanita lusuh itu pun pergi dengan hati pedih.
Beberapa waktu kemudian, sang pimpinan
menyesali sikapnya terhadap wanita yang ditolak naskahnya tersebut, karena
ternyata naskah wanita itu menjadi Novel best seller di seluruh dunia, kemudian
dijadikan sebuah film yang masuk deretan Box Office, sang pimpinan hanya bisa
merutuki kekeliruannya, andai saja… dia
waktu itu menerima naskahnya dan tidak memperdulikan penampilan sang pemilik naskah,
mungkin dia juga akan ikut kaya raya seperti wanita itu.
####
“Ayahmu
kalau datang kesini pasti bikin repot! Minta dijemputlah, atau paling
juga mau pinjam uang!”
seorang
suami menumpahkan kekesalannya terhadap sang istri yang baru seminggu melahirkan
bayinya yang kelima.
“Suruh
ayahmu balik lagi ke kampungnya!” sambungnya,
sang
istri hanya menangis sesenggukan, dia tidak terima ayahnya dituduh seperti itu
oleh sang suami, padahal sang ayah belum juga sampai di rumah mereka, dia masih
di jalan, dan menelepon supaya di jemput di depan jalan karena tidak tahu arah
ke rumah mereka,
“Sekarang
saya mau tanya, ayahmu pernah engga menginjakkan kakinya di rumah ini?
menjenguk kita dan semua cucunya?”
akhirnya
sang istri angkat bicara juga, dia tak tahan dengan ucapan suaminya, sang suami hanya terdiam, memang betul ucapan
istrinya, ayahya tak pernah menjenguknya sekalipun, sejak mereka mnikah empat
belas tahun yang lalu, hingga sekarang mereka mempunyai lima anak, telepon genggam
kembali berdering dan ternyata sang ayah sudah sampai di depan jalan yang
jaraknya beberaapa ratus meter dari rumahnya, walau dengan terpaksa, akhirnya sang suami mau menjemput ayah mertuanya .
Wajah sang istri nampak kuyu, ada bekas
tangis di wajah dan terutama kelopak matanya, “Kenapa kamu nangis, Nduk?” Tanya
sang ayah curiga
“
Saya hanya terharu dan bahagia ayah datang menjenguk si kecil” sang istri berbohong,
dia tak tega untuk menceritakan hal yang sebenarnya kepada sang ayah tercinta,
yang sudah lelah bepergian dari kampungnya hanya untuk menjenguk si kecil yang
baru lahir seminggu.
Sambil mmenggendong si kecil sang istri
menyuguhkan nasi kuning yang dibuat khusus untuk kelahiran si kecil, melihat ayahnya
makan dengan lahap, dia nampak bahagia, walaupun dia tak melihat sang suami,
yang sengaja menghindari pertemuan dengan sang ayah, dan sang istri udah mafhum.
Ternyata sang suami ada di kamarnya sedang tidur-tiduran di atas kasur,
namun dia menguping pembicaraan sang istri dan mertuanya, “ Ini ada oleh-oleh
dari kampung, Nduk!” sang ayah mengeluarkan beberapa bungkus kado dari dalam
tasnya yang besar, engga tanggung-tanggung, ada sepuluh kado semuanya,
anak-anak yang sedari tadi diam saja, berebutan membuka kado-kado cantik dari
saudara-saudara ibunya tersebut, mereka sangat riang.
“Ini
juga ada amplop dari saudara-saudara di kampung!” kemudian sang ayah
mengeluarkan amplop dari daam kantung keresek kecil yang ditaruh di dalam tas
paling dalam, amplop pun ada sepuuh lembar, penasaran sang istri membuka isi
ampop itu di depan ayahnya, matanya terbelalak karena isinya sangat banyak, setiap
amplop isinya minimal seratus ribu rupiah, total semuanya satu juta empat ratus
ribu rupiah, sang istri sangat senang dan bahagia, keluarganya di kampung
memang sangat menyayanginya, walaupun mereka tak bisa hadir berasama ayahnya,
dia menangis terharu
“Ini
khusus dari Mbah!, minggu lalu mbah panen, ada sedikit uang untuk berobat
suamimu, katanya dia sakit lagi, ya.. tho…?” sang ayah menyodorkan amplop yang
lebih besar, isinya tebal, sang istri ragu untuk membukanya segera,
“Bukalah,
mudah-mudahan cukup untuk berobat suamimu!” sang ayah seperti mengerti dengan
sikap anaknya, dibukanya segera amplop tebal itu, dan matanya tambah
terbelalak,
“Masha
Allah!!! Mbah! Banyak banget! Emang mbah engga butuh?” sang istri sedikit
menjerit melihat isi ampolp yang berjumlah lima juta rupiah itu, sang ayah
hanya terkekeh,
“*Wis ora opo-opo, mbah ndak butuh, di
bank masih ada, kasian suamimu sakit-sakitan, mudah-mudahan cepet sembuh, Nduk!”
Di dalam kamar sang suami terperangah
mendengar pembicaraan sang istri dan ayahnya, betapa tidak, orang yang dia inginkan
untuk tidak hadir di rumahnya, ternyata memiliki hati mulia, andai saja… sang istri menuruti
perintahnya untuk mengusir sang ayah,
mungkin uang yang dia butuhkan untuk berobat
itu tak kan pernah ada.
####
Ini
kisah Seorang gadis cantik dan tinggi semampai, kulit putih brsih, sudah barang
tentu banyak pria yang menginginkannya untuk dijadikan istri, entah itu saudaranya,
tetangganya, teman-temannya, dan sebagainya. Namun sudah lebih dari kepala tiga
dia belum juga menikah, apa masalahnya? Padahal secara pendidikan ia dia juga
sarjana, mungkin sebagian orang tidak tahu apa yang ada dalam benaknya ketika seorang
laki-laki melamarnya,
“Ah
paling juga dia mau sama aku karena aku sarjana kan?” tuduhny ketika seorang
sepupu menawarkan pria sholih yang ingin melamarnya, namun pendidikannya lebih
rendah dari dia,
Di
lain waktu, “Engga ah, dari wajahnya saja aku dah ngga berminat, emangnya engga
ada laki-laki yang lebih ganteng yang pantas untukku?” tolaknya setelah melihat
sebuah fhoto laki-laki yang dibawa seorang temannya
Pada
suatu hari, “Apa? Dia mau datang lagi kesisni? Mau apa? Aku kan sudah
menolaknya berkali-kali kok dia nekat sihhh!!!, apa dia engga tau kalau aku engga
suka sama dia? Dia engga tau apa kalau aku pernah sakit hati sama adiknya?, dia
engga mikir kalau ibunya pernah menyakiti ibuku?” cerocosnya setelah mendengar
kabar dari saudaranya bahwa seorang laki-laki yang pernah melamarnya akan datang
lagi untuk mencoba melamarnya, secara ekonomi dan status sosial laki-laki ini
lebih tinggi darinya.
Akhir
tahun lalu, “ Saya engga suka laki-laki yang aktif di organisasi, nanti saya
dicuekin lagi!, karena dia sibuk sama organisasinya!” begitulah jawabannya saat
seorang saudara menawarkan seorang aktifis organisasi Islam, padahal dia juga
sarjana dan kaya raya. Dan seterusnya, setiap laki-laki yang datang selalu
ditolaknya mentah-mentah, tanpa mengenlanya terlebih dahulu. Namun di lubuk
hatinya terdalam dia menginginkan untuk segera menikah, dia rajin berdo’a dan
berharap dengan khusyuk di setiap sholatnya.
Andai
saja… dia berpikir sebaliknya, minimal terhadap salah seorang
diantara laki-laki yang entah sudah orang datang melamar, mungkin dia sudah
berkeluarga, bahagia dan mempunyai anak.
####